Diana, sebuah nama yang dipilih oleh orang tuanya dulu. Kini, ia
menamani anaknya Dana, selain karena bunyinya hampir mirip, juga karena
Diana berharap anaknya tidak akan kekurangan dana selama hidupnya. Namun
ternyata, nasib berbicara lain. Kini, setelah beranjak gede, Dana
ternyata sangat santai dalam menghadapi hidup ini. Alih – alih
memikirkan universitas mana yang akan ditempuh, Dana malah telah
memutuskan untuk bekerja sehabis lulus SMA. Tiap hari kerjanya hanya
main gim saja. Entah apa yang salah, batin Diana.
Telah beberapa kali Diana memergoki anaknya yang sedang mengintip saat
ia mandi. Bahkan terkadang, Dana mengintip roknya saat akan dan atau
beranjak dari duduk. Sikap anaknya memang tak menyenangkan, namun kali
ini Diana lebih mementingkan jalan hidup anaknya. Apalagi kalau melihat
rapotnya, jarang ada nilai lebih dari delapan puluh.
Seharian Diana mencoba berpikir apa yang mesti dilakukan untuk mengubah
nilai dan pandangan hidup anaknya. Bagaimana caranya untuk memotivasi
anaknya yang kurang termotivasi? Ingin rasanya Diana mengundang
motivator terkenal, namun apa daya tiada rupiah.
Malam hari, Diana makan seperti biasa bersama anaknya. Selesai makan, saat Dana akan kembali ke kamarnya, Diana menghentikan.
“Duduk dulu sini, ada yang mau mama bicarain.”
“Lah, Dana udah tau mama mau bicarain apa. Pasti itu lagi – itu lagi.”
“Iya, mama ngerti. Tapi mama inginnya meski kamu tak niat kuliah,
nilaimu harus bagus semua. Apalagi mama ingin sehabis sekolah kamu tuh
kuliah.”
“Tapi mah, Dana udah seneng kok hidup kayak gini. Apa lagi yang kurang?”
“Pasti ada yang kurang. Masa kamu puas hanya dengan seperti ini sih?”
“Kagak ada yang kurang mah. Kecuali…”
“Kecuali apa?”
“Kecuali cewek telanjang. Hehehe…”
“Hehe… Dasar kamu itu. Pantesan kamu doyan bener intipin mama mandi.”
Dana yang lagi tersenyum mendadak diam. Terkejut.
“Kamu kira mama gak menyadari kelakuanmu apa?”
“Iya mah, maaf. Abis Dana penasaran sih.”
“Iya mama ngerti. Seusia kamu memang penasaran sama segala hal. Malahan bagus kok, daripada mati penasaran.”
“Makasih mah.”
“Tapi mama ingin agar kamu tingkatin nilai kamu. Terus kuliah. Biar
nanti bisa lebih daripada mama. Lebih sukses dan lebih kaya.”
“Gak perlu mah. Gini juga udah bahagia kok.”
“Meski tanpa gadis telanjang,” kata Diana sambil nyengir. “Ya udah, kalau kamu mau ke kamar. Mama mau beresin dulu.”
“Iya mah.”
Diana pun membersihkan sisa makanan dan mencuci piring. Telah delapan
tahun Diana sendirian mengurus anaknya. Delapan tahun lalu David,
ayahnya Dana, meninggal. Selama ini Diana berjuang mencari nafkah juga
membesarkan. Tatapan mata anaknya saat mengintip membuat Diana kembali
merasa ingin menjadi wanita seutuhnya, yang diinginkan oleh pria,
dijamah oleh laki – laki, dicumbui lelaki.
“Mama boleh masuk nak?” tanya Diana setelah mengetuk pintu kamar anaknya.
Namun, tanpa menunggu jawaban, Diana langsung masuk dan mendapati
anaknya sedang duduk di depan monitor. Diana lalu duduk di ranjang
anaknya.
“Ada apa mah?”
“Nak, mama rasa keputusanmu untuk kerja sehabis sekolah bakal kamu sesali nanti,” kata Diana sambil mengusap kepala anaknya.
“Kalau begitu adanya, biarlah nanti Dana sesali apa yang Dana putuskan hari ini.”
“Mama ingin kamu kuliah. Namun meski begitu, mama takkan menghukum kamu
dengan menjual komputermu dan atau melarangmu melakukan ini – itu.
“Jadi, daripada melarangmu, mama putuskan untuk memberimu hadiah jika
dan hanya jika nilai rata – rata EBTANASmu lebih dari pada delapan puluh
dan kamu lanjut kuliah.”
“Tapi mah, Dana kan udah bilang Dana gak perlu apa – apa lagi.”
Diana menghelan nafas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya.
“JIka nanti pada saat EBTANAS nilaimu lebih dari delapan puluh dan kamu
putuskan akan kuliah, mama akan hadiahi kamu wanita telanjang.”
“Apa?”
“Jika nilaimu bagus, mama tak akan lagi memakai pakaian di rumah hanya jika sedang berdua denganmu, alias tak ada tamu.”
“Hehehe… Mama emang pinter bercanda,” tawa Dana.
Wajah Diana yang terkesan dingin membuat Dana menghentikan tawanya.
“Jika tubuh usia empat puluh empat tahun masih menarik bagimu, maka
peganglah janji mama ini. Tapi jika nilai rata – ratamu kurang dari
delapan puluh, maka saat itu juga perjanjian ini mama batalkan. Setuju?”
“Mama gila,” kata Dana namun tangannya menyalami tangan mamanya tanda setuju.
Detik – detik berganti dengan menit. Menit pun silih berganti. Hari –
hari pun terus berganti. Dana kini mulai rajin belajar. Suatu hari tiba –
tiba ada surat community college setempat yang mengabari bahwa Dana
diterima untuk meneruskan pendidikan di CC tersebut.
“Kok di CC sih, kenapa gak di universitas negri aja?”
“Biar hemat duit dong mah. Kan di perjanjiannya juga yang penting kuliah, gak mesti di sini atau di situ.”
“Wow, Dana yang dulu kemana yah?”
Mereka pun tertawa, namun Dana langsung belajar lagi. Diana semakin
tegang menyadari nilai harian anaknya yang makin meningkat. Kadang Diana
merasa malu sendiri mengingat janji kecilnya. Tapi di sisi lain Diana
senang akan perubahan positif anaknya. Tentu bukan berarti Diana akan
bersenggama dengan anaknya. Namun di relung hatinya Diana tahu, bukan
hormone anaknya saja yang sedang terpacu. Diana menikmati perasaan yang
akan datang saat Diana telanjang di depan mata anaknya. Lama rasanya
Diana tak merasakan perasaan tak nyaman di perutnya. Diana sungguh
senang.
Malamnya acara makan terasa sunyi, sesunyi nyanyian senyap. Di meja
terletak dokumen. Dokumen yang tak hentinya dilirik oleh Diana. Diana
berdiri dan akan melangkah saat anaknya menghentikannya.
“Mah, Dana tahu mama akan melaksanakan perjanjiannya, tapi Dana rasa tak
perlu mah. Lagian mama lakuin itu untuk memotivasi Dana. Bagi Dana itu
saja sudah cukup kok. Menjanjikan sesuatu yang akan memotivasi Dana
memang menakjubkan. Tapi Dana kini sudah di jalur yang benar.”
Setelah itu Dana membersihkan meja makan lalu beranjak ke kamarnya
meninggalkan Diana yang tersenyum sendiri sambil geleng – geleng.
Perasaan tak nyaman di perut kembali datang.
Sabtu itu Dana bangun agak siang. Setelah mandi, Dana pun ke dapur ingin
makan. Dana tahu setiap sabtu mama selalu belanja. Namun Dana melihat
daster mama tergantung di pegangan pintu. Sambil melankah Dana
menghanduki rambutnya. Namun saat di dapur Dana menjatuhkan handuknya.
Diana menoleh dan tersenyum saat melihat Dana, “baru bangun nak? Mau goreng telor apa roti bakar?”
Dana melongo melihat mamanya menawakan sarapan tanpa memakai pakaian.
Matanya menjelajahi tubuh mama mulai dari payudaranya sampai jembut
halus di selangkangan. Bahkan meski telah berkali – kali ngintip, namun
tak sejelas sekarang.
Merasa ditelanjangi mata anaknya membuat Diana tertawa lalu kembali masak.
“Inilah tubuh empat puluh empat tahun yang mama janjikan,” kata Diana sambil menggoyangkan pantatnya.
“Mama ngapain sih?”
“Bikin sarapan, mau telur apa roti?”
“Telur ajalah. Kenapa mama gak dibaju?”
“Menurutmu kenapa? Mama bukan orang yang suka ingkar. Mama bangga sama
kamu.” Diana melirik mendapati anaknya sedang menatap susu kirinya.
“Duduk aja nunggu goreng telor nikmati pemandangan. Kamu berhak
mendapatkannya.” Lalu Diana melanjutkan memasak.
Dana hanya mampu menuruti, duduk sambil menatapi tubuh mamanya. Puting
mamanya terlihat seperti menunjuk tegak. Bukan karena udara, namun
karena sensasi yang dirasakannya.
“Mama seksi sekali.”
“Makasih nak.”
Diana pun selesai memasak dan menaruh makanan di meja makan. Diana ikut duduk.
“Baiklah, biar ini bisa berjalan lancar, kita perlu membuat aturan.
Setiap pulang, mama akan ke kamar mama lalu langsung melepas pakaian.
Kalau ada tamu, kamu mesti membuka pintu sementara mama berpakaian.”
“Pasti seru liat mama lari - lari di rumah.”
“Pasti itu. Serius, kini kamu bisa menatap sampai bosan, seperti yang
mama janjikan. Tapi tidak boleh menyentuh, apalagi menceritakan pada
siapa pun. Jika nilaimu jatuh, drop out dan atau menyentuh, mama kembali
berpakaian. Paham?”
“Paham. Tapi mama gak berharap ikut – ikutan telanjang juga kan?
“Tentu saja tidak. Aneh kau ini. Udah, nikmati saja keberuntunganmu.”
Sarapan pagi itu berlangsung dalam diam. Setelah makan, Dana membereskan meja sambil melihat susu dan selangkangan mama.
Perut Diana kembali mengeluarkan sensasi saat tubuhnya ditatap oleh anaknya.
Dana mencoba bertahan dari keinginan untuk menyentuh susu mama. Aturan main yang ditetapkan mamanya membuatnya patuh.
“Kayaknya mama adalah mama paling keren deh.”
Diana menatap mata anaknya, “makasih, tapi mama yakin kamu pasti bilang
gitu ke setiap wanita, apalagi yang telanjang di hadapanmu.”
“Tentu saja Dana tak mungkin memanggil wanita lain ‘mama’ sambil berharap melihatnya telanjang.”
Diana tertawa lalu reflek memeluk anaknya. Dana tentu menikmati sentuhan tubuh telanjang mamanya.
“Selama kamu mematuhi aturan mainnya mama akan telanjang di hadapanmu. Sekarang, kamu mau mama ngapain?”
Dana melirik saat akan melangkah, “gak tau mah, mungkin kita main wii bareng.”
Diana kembali tertawa mendengar ajakan main gim dari anaknya.
0 komentar:
Posting Komentar